Sejak hari pertama masuknya Belanda di kota Cirebon, lalu lintas yang ramai di dalam kota Cirebon menjadi sasaran serangan Belanda terutama di jalan Kosambi, hingga banyak kendaraan yang hancur di tengah kota. Pada tanggal 22 Juli 1947, di saat tentara Belanda berhasil menguasai pelabuhan, Cirebon digempur habis-habisan dari pukul 12:45 WIB sampai dengan pukul 14:05. WIB. Pesawat bomber menjatuhkan bom-bom besar maupun bom-bom kecil dengan tujuan untuk menghancurkan pertahanan militer. Tembakan meriam dan kanon dari tank Belanda mengacaukan Pertahanan TNI. Sedangkan penduduk tidak sempat diberitahu akan datangnya musuh.
Di jalan Gunungsari bergelimpangan mayat-mayat penduduk di dekat Perumahan PJKA. Pada hari ketiga Sutadi Sukarya dan Djaini berupaya bersama-sama penduduk menguburkan mayat-mayat yang banyak dan mulai membusuk. Dengan hati cemas dan khawatir akan terlihat oleh patroli KNIL, mereka berupaya untuk bersama-sama penduduk untuk menggali lubang besar di pinggiran sungai.
Di antara mayat-mayat tersebut ada teman mereka dari TP Purwokerto yang bernama Sudjono berada di tepian sungai. Mayat-mayat tersebut diangkutnya dengan menggunakan tangga dari bambu. Peristiwa ini menjadi kenangan pahit yang dialaminya, terlebih ketika harus menguburkan temannya sendiri dari TP Yon 400 Cirebon yang bernama Hardjono dan tinggal di Asrama TP Gunungsari dalam posisi tersangkut di jembatan kecil Gunungsari akibat serangan mendadak di Cirebon.
Peristiwa yang dialaminya membuat Sutadi Sukarya dalam jangka waktu panjang tak suka makan daging. Pada saat Sutadi Sukarya telah memangku jabatan sebagai Dirjen Pajak V, di kala berkunjung ke Cirebon, yang pertama-tama ditelusuri adalah tentang penguburan para syuhada yang masih menempati pemakaman darurat. Ternyata dalam perjalanan waktu, korban pertempuran ini telah dimakamkan di Makam Pahlawan Cirebon.
Situasi masyarakat menjadi ketakutan sebagaimana di kampung Jagasatru sudah banyak pengungsi yang berkumpul. Tentara Belanda keluar masuk kampung sambil melepaskan tembakan ke atas secara membabi buta, para pengungsi dengan dikawal oleh TP, disarankan menyeberangi sungai yang merupakan satu-satunya jalan pintas, untuk menyelamatkan diri menuju ke arah selatan yang dianggapnya masih aman dari jangkauan tentara Belanda. Tujuan pengungsian ini yaitu ke Jalaksana.
Dalam peristiwa Palagan Cirebon disebutkan bahwa bagian serambi depan Masjid Agung Kasepuhan (Masjid Sang Cipta Rasa) dan pagarnya pun somplak terkena mortir. Gelegar mortir dan desingan peluru sengaja diciptakan untuk melumpuhkan kekuatan TNI.
Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan...
Ikatan Keluarga 400 (IKKEL 400),...
Pelatihan-pelatihan yang pernah didapat di...
Baskara Harimukti Sukarya,...