Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan pada tanggal 23 Juni 2022 di Gedung Joang 45 Menteng Jakarta Pusat, merupakan kisah perjuangan ex Tentara Pelajar Yon 400 Cirebon pada masa perang kemerdekaan 1945-1949. Kisah ini tertulis diangkat dari catatan harian para pelaku sejarah.
Menurut ahli sejarah India, Singh Jadav dari Universitas Gadjahmada tahun 1960, bahwa TP Jawa Barat, TP Jawa Tengah dan TRIP Jawa Timur merupakan Pasukan Elit yang terdiri dari anak-anak pelajar. Tidak berada dalam satu milisi, tetapi mereka memiliki komandan batalyon sendiri dan persenjataan sendiri. Mereka bertempur sama beraninya dengan Brigade XVII Siliwangi. Tentara Pelajar merupakan satu-satunya yang ada di dunia, menurut penelitian ahli sejarah UGM, Sigh Jadav.
Dalam sejarah nasional yang disampaikan oleh dinas sejarah Kodam VI Siliwangi berdasarkan buku yang berjudul Siliwangi dari Masa ke Masa, pada tanggal 5 Januari 1947 Kapal Belanda mulai menghujani KRI Gadjah Mada dengan tembakan meriam di perairan pantai Cirebon dalam rangka pengamanan perjanjian Linggarjati. Peristiwa ini layak dicatat oleh Pemerintah Daerah Cirebon sebagai suatu peristiwa yang mengawali akan terjadinya serangan besar-besaran di Cirebon. Dalam peristiwa ini telah gugur Letnan Samadikun yang jenazahnya diketemukan pada tanggal 6 Januari 1947, yang merupakan hari berkabung.
Dan selanjutnya disebutkan bahwa Cirebon diserang Tentara Belanda tanggal 22 Juli 1947 dari darat, laut dan udara. Kondisi persenjataan TNI tak memadai, sedangkan Tentara Pelajar sebagian sedang mengawal perbekalan ke pedalaman.
Di dekat perumahan PJKA, mayat bertumpuk-tumpuk hingga membusuk, kemudian seorang Tentara Pelajar yang bernama Sutadi Sukarya bersama masyarakat dan teman-temannya mencoba menguburkan mayat-mayat tersebut. Mayat diangkut dengan tangga bambu untuk dikebumikan di dekat jembatan Gunungsari. Seorang Tentara Pelajar bernama Hardjono mati tersangkut di jembatan tersebut. Para Tentara Pelajar ini rata-rata berusia 15-20 tahun. Di tengah desingan peluru, mereka berupaya agar supaya para syuhada korban pertempuran dimakamkan secara layak.
Suasana di kota Cirebon sangat kacau, masyarakat sebagian berupaya untuk menuju ke gedung Cung Hua Cung Hui dekat Keraton Kasepuhan dan kemudian pengungsi sudah mulai berkumpul di desa Jagasatru. Beberapa Tentara Pelajar, diantaranya Suhud Sastraprawira dan teman-temannya berusaha membawa para pengungsi ini dengan melewati jalan sungai menuju ke desa Jalaksana. Pada pukul 23.00 WIB, para pengungsi ini dapat sampai dengan selamat di wilayah Kabupaten Kuningan.
Bupati Cirebon Makmoen Sumadipradja tak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan mendirikan Pemerintahan Darurat Sipil di desa Sukasari. Yang menjadi tenaga administrasi untuk membantu Pemerintahan Darurat Sipil adalah para pelajar dari IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) yang dipimpin oleh Hamid Attamimi. Karena para pegawai kabupaten tak ada yang dapat menyertai pemerintahan di Sukasari.
Adapun Pemerintahan Darurat Militer berada di Sagarahiang di bawah komando Mayor Umar Wirahadikusumah dan Kapten Rukman membawahi daerah Sindangjawa, yang dikenal dengan nama Batalyon Rukman dan Batalyon Umar Wirahadikusumah. Adapun TP Yon 400 Cirebon merupakan bagian dari Brigade XVII Siliwangi yang memiliki strategi tempur dan keberanian sama dengan Brigade XVII Siliwangi. Bahkan di dalam pemberantasan DI/TII/SM Kartosuwiryo, peranan dari TP Yon 400 sangat dominan. Demikianpun pada saat penyerangan PKI di Madiun, mereka bergerak di bawah pimpinan Letkol Mokoginta.
Tak terkecuali pertempuran dengan PKI di Cirebon pimpinan Mr Yusuf yang bermarkas di Hotel Lee Brinck. Peranan TP Yon 400 bersama-sama dengan TNI pada saat itu dapat menyelesaikan penguasaan PKI di Cirebon, sehingga PKI hanya dapat menguasai Cirebon dalam waktu 4 hari.
Selaku komandan TP adalah Salamun AT dengan wakil komandannya yang bernama Ismail Rahardjo. Gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh anak-anak IPI dari Cirebon tersamar dalam kegiatan ekstra kurikuler di bawah pimpinan Ismail Rahardjo Moekmin Kamaloedin, Nanik Gandasoebrata.
Peranan Emon Reksalegora dan Sutadi Sukarya sebagai kurir pos, intel dan penyampai wayang beber ke desa-desa berhasil menghambat provokasi Belanda untuk masuk ke pedalaman, walaupun keduanya akhirnya menghuni BUI Lama dan BUI di Kebonwaru Bandung.
Sulaeman Kartasumitra yang patungnya berada di depan Perpustakaan 400, selaku pimpinan Pasukan Kelana Sakti menunjukkan keberanian anak muda berusia 17 tahun yang layak disebut James Bond dari Cirebon. Demikianpun dengan seorang pelajar yang bernama Djikman dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia yang bermarkas di belakang Stadion Bima, merupakan tokoh pelajar yang sangat berperan di medan pertempuran Kerawang.
Desa Mayung (Cirebon Utara) memiliki sejarah tersendiri di mana seorang Tentara Pelajar yang bernama S Tirta dan Abdul Karim merupakan Tentara Pelajar yang pada saat itu dikejar-kejar oleh tentara Belanda. Dan keduanya akhirnya tertangkap dan menjadi penghuni BUI Lama di Cirebon karena dianggap sebagai ekstrimis yang melawan Belanda, di mana keduanya sedang mempersiapkan ulang tahun kemerdekaan RI yang ketiga. Dan tiba-tiba datang serombongan pasukan tentara Belanda yang melakukan penyerangan untuk menggagalkan upacara peringatan tersebut. Keduanya ditangkap dan dimasukkan ke BUI Lama, namun kemudian dibebaskan dengan alasan karena mereka adalah school jongens. Ada 6 orang rekan-rekannya yang tertembak mati di tempat. Mereka dimakamkan di blok Sitempul desa Buyut.
Gagalnya perjanjian Renville membuat Siliwangi harus Hijrah ke ibukota negara di Yogyakarta. Kemudian saat pemboman pangkalan udara Maguwo, Brigade XVII Siliwangi diperintahkan oleh Letjen Sarbini untuk kembali ke Jawa Barat guna mempertahankan Jawa Barat yang dikenal dengan nama Long March. Hijrah dan Long March Siliwangi sangat dikenal pada masanya.
Tokoh-tokoh TP di balik perjuangan di antaranya Saleh Basarah, Sutadi Sukarya, Yogie S Memet, Mochtar Kusumaatmadja, Hamid Attamimi, Salamun AT, dan masih banyak lagi, semuanya termuat di dalam buku Palagan Cirebon.
Dengan adanya buku ini, semoga kisah heroisme perjuangan mereka dapat terangkat dan menjadi kenangan abadi tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang diwarnai dengan peluh keringat, linangan air mata, genangan darah bahkan pengorbanan nyawa para martir dan syuhada. Bahwa sesungguhnya Karesidenan Cirebon tidak jatuh ke tangan Belanda, namun mereka memindahkan pusat pemerintahannya di kaki bukit Ciremai. Perjuangan para TP Yon 400 Cirebon merupakan peristiwa Heroisme yang tak kalah pentingnya untuk diungkapkan pada masa kini ketika peristiwa Hijrah dan Long March dari Siliwangi yang sangat terkenal seakan menjadi catatan buram yang dipertanyakan oleh para kawula muda. Semoga Pemerintah Daerah Karesidenan Cirebon dan Provinsi Jawa Barat lebih memahami peristiwa bersejarah yang sangat monumental di dalam sejarah Nasional Indonesia yang dapat dipakai sebagai contoh bagi generasi muda masa kini. Adanya nilai-nilai persatuan dan rasa kebangsaan yang melatarbelakangi gerakan kaum muda pada saat itu, tentunya tak kalah kisahnya dengan peristiwa 10 November di Surabaya. Marilah kita jadikan peristiwa ini sebagai tonggak bersejarah bagi Provinsi Jawa Barat.
Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan...
Ikatan Keluarga 400 (IKKEL 400),...
Baskara Harimukti Sukarya,...
Pelatihan-pelatihan yang pernah didapat di...