Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tampak dalam hal ini Belanda masih menginginkan kembali ke Indonesia sebagai kekuatan neokolonialisme.
Dengan membonceng tentara Inggris yang mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1946, Belanda akhirnya dapat menginjakkan kakinya kembali di Indonesia dengan membawa satu kompi KNIL.
Pendaratan pasukan Inggris dan Belanda di Jawa disambut dengan demonstrasi atau gerakan perlawanan dari rakyat yang mengungkapkan pembelaannya terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan pemerintah dan rakyat Indonesia, mereka menilai Belanda ingin mencoba berkuasa di Indonesia hingga akhirnya pertempuran-pertempuran di daerah daerah terjadi, seperti pertempuran 10 November di Surabaya, pertempuran di Ambarawa, pertempuran di Medan, pertempuran Merah Putih di Manado dan lain-lain. Karena sering terjadinya pertempuran-pertempuran yang merugikan kedua belah pihak dengan beberapa alasan lainnya, maka pihak Kerajaan Belanda dan Indonesia bersepakat untuk melakukan kontak diplomasi pertama dalam sejarah kedua negara tersebut.
Kekuatan perlawanan rakyat menunjukkan adanya pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia secara bersama-sama olah rakyat di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan beberapa kota-kota di Sumatera menjadi bergolak. Melihat perlawanan rakyat secara serempak di kota-kota besar, pihak Inggris tidak cukup hanya dengan memberikan pengakuan de facto saja, namun rakyat harus tahu tentang apa sebenarnya yang menjadi misi dan tugas pihak Inggris di Indonesia. Walaupun sesungguhnya misi yang mereka bawa mempunyai niat terselubung untuk Belanda menguasai Indonesia kembali.
Penegasan misi “diplomatik” mendorong Pemerintah Republik Indonesia menginstruksikan rakyat agar tidak menghalangi niat tentara Inggris untuk menjalankan misinya. Namun instruksi tersebut dalam prakteknya di lapangan tidak berjalan dengan baik, karena rakyat tetap mengadakan perlawanan.
Hal ini disebabkan rakyat melihat memboncengnya Tentara KNIL, di mana Tentara KNIL ini dahulu adalah bekas interniran (tahanan Jepang) yang baru dibebaskan. Tentara Belanda secara terang-terangan tidak mengakui Kedaulatan Negara Republik Indonesia, dengan cara selalu memancing kericuhan di berbagai tempat. Keadaan ini mendorong Letnan Jenderal Sir Philip Christison mendesak Gubernur Jenderal H.J. Van Mook agar mengadakan perundingan dengan pihak Republik Indonesia. Perundingan pertama dilakukan pada 1 November 1945 antara Gubernur Jenderal H.J. Van Mook dan Ir. Soekarno, tawaran yang diajukan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook kepada pihak RI adalah bahwa pihaknya bersedia mengakui Pemerintahan RI dengan status merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Tawaran ini ditolak oleh Ir. Soekarno. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 14 November 1945 segera membentuk Kabinet Parlementer Pertama dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir yang dipandang sangat diplomatis dan moderat. Sementara perundingan-perundingan yang sedang berlangsung sifatnya hanya mengulur waktu agar Belanda dapat menyusun kekuatan militernya kembali di berbagai kota yang didudukinya hingga sampai akhirnya Ibu Kota Jakarta dikuasai Belanda pada tanggal 4 Januari 1946.
Akhirnya Ibu Kota Republik Indonesia kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, Pemerintah Belanda tidak konsekuen dengan janjinya. Perundingan demi perundingan selalu dilakukan oleh Belanda dalam perundingan di Hooge Veluwe dan perundingan 7 Oktober 1946 mengalami kegagalan.
Kemudian melalui kirim mengirim nota yang isinya dalam nota tersebut disertai tekanan ultimatif dari Belanda sampai akhirnya diadakan perundingan di Linggarjati. Perundingan Linggarjati diselenggarakan di sebuah tempat di dekat kota Cirebon. Pemilihan Linggarjati sebagai tempat pertemuan diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso, Menteri Sosial di masa itu dengan pertimbangan bahwa lokasi didasarkan pada titik tengah antara Belanda yang menguasai Jakarta dan Pemerintah RI yang saat itu menjadikan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan sementara.
Rumah besar yang dijadikan tempat pertemuan adalah milik Kulve Van Os, seorang Belanda pemilik pabrik semen dan pengrajin ubin yang menikahi perempuan berdarah Indonesia. Saat itu delegasi Belanda menginap di kapal perang milik mereka sendiri. Delegasi Indonesia menginap di Linggasama yang letaknya berdekatan dengan desa Linggarjati. Sementara itu Ir. Soekarno dan Moh Hatta sempat singgah di rumah Bupati Kuningan. Perundingan berjalan alot, ada beberapa poin yang tidak dapat disepakati oleh kedua belah pihak disela pertemuan tersebut, delegasi Belanda sempat menemui Ir. Soekarno yang datang sebagai tamu untuk membicarakan beberapa poin yang menjadi perdebatan antara Belanda dengan Indonesia yang diketuai Sutan Syahrir.
Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan...
Ikatan Keluarga 400 (IKKEL 400),...
Baskara Harimukti Sukarya,...
Pelatihan-pelatihan yang pernah didapat di...