Kesatuan tempur rakyat Cirebon tak lagi diragukan. Dari awal mula berdirinya Kesultanan Cirebon, rakyatnya terkenal dengan jiwa ksatria. Mereka mempunyai keyakinan yang teguh, kemampuan dan keberaniannya tak lagi diragukan. Maka bila ditelusuri kembali banyak peristiwa dalam Palagan Cirebon yang secara nyata terkait langsung dengan rangkuman peristiwa awal keberadaan Keraton Pakungwati yang dipimpin oleh Sunan Gunungjati.
Kesultanan Cirebon merupakan kesultanan yang berdaulat penuh dengan misi pengembangan agama Islam ke daerah-daerah. Salah satu di antaranya melakukan penghapusan pajak bumi bagi rakyat. Dalam misinya, Sunan Gunungjati diangkat sebagai Ketua Dewan Wali Songo yang dianggap menjadi sesepuh para wali pada masa itu. Suatu masa ketika Dewan Wali Songo menyelenggarakan permufakatan dan persidangan di Cirebon, untuk memutuskan perkara Syekh Lemahabang yang dianggap menyalahi pranata agama. Dalam keputusan sidang tersebut, Syekh Lemahabang mendapat keputusan hukuman mati. Kemudian beliau menyampaikan sebuah peringatan terutama kepada Sunan Gunungjati selaku Ketua Dewan Wali Songo:
“Hati-hati Sunan Gunungjati, pada suatu masa bila ada kebo bule bermata kucing naik dari lautan ke daratan, maka akan datang ‘bilahi’ bagi keturunan anak cucu kalian semua.” Ketika mendengar suara ini, Sunan Gunungjati bersama para wali langsung memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa memohon ampunan-Nya.
Apabila ada kesalahan dari para wali dalam melakukan keputusannya janganlah rakyat Nusantara yang menjadi korban. Mohon agar Allah memberikan perlindungan-Nya dalam situasi terburuk sekalipun. Peristiwa ini terlampaui sudah hingga sekian lamanya, tiba pada masanya karesidenan Cirebon benar-benar mengalami sebuah peristiwa pertempuran dahsyat di tahun 1947 yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Prahara demi prahara bagaikan awan gelap yang menimpa rakyat Cirebon.
Ternyata peristiwa doa dari Sunan Gunungjati dan para wali terasa turut mengawal perjuangan semesta rakyat Jawa Barat. Walau pada kenyataannya Cirebon mengalami kehancuran, namun pemerintahan sipil darurat masih tetap berada di daerah pedalaman. Hal ini dirasakan oleh rakyat Cirebon sebagai sebuah kemakbulan doa dari para wali.
Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang berdaulat penuh semenjak penyerahan kesultanan dari Pangeran Cakrabuana kepada kemenakannya yang bernama Sunan Gunungjati yang dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah putra dari Ratu Mas Rara Santang. Keberadaan keraton di Cirebon merupakan akhir dari masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Keraton Pakungwati/Kasepuhan mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, kini telah dijadikan cagar budaya berada tepat di samping Keraton Kasepuhan.
Adapun Cirebon semenjak dahulu memiliki pelabuhan yang telah dikenal tempat persinggahan bangsabangsa dan para pedagang dari mancanegara. Pelabuhan ini memiliki sebuah mercusuar sebagai penunjuk bagi perahu-perahu yang akan singgah di Pelabuhan Muarajati.
Pada suatu saat datang berlabuh armada Wei-Ping. Dalam rombongan ini ada seorang teknokrat Cina yang bernama Ma Huan yang berkeinginan memperbaiki mercusuar pelabuhan. Mengingat pentingnya mercusuar yang berfungsi sebagai penunjuk jalan, maka segera dilakukan perbaikan mercusuar selama 7 hari. Sebagai ucapan terima kasih dari sang juru labuhan, diserahkannya garam, terasi, beras, sayur mayur dan kayu jati. Kemudian armada kapal ini yang dipimpin oleh Laksamana The Ho/Ceng Ho melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit.
Keberadaan Keraton Pakungwati sejak tahun 1479 merupakan simbol utama bagi kekuatan rakyat Cirebon. Walau dalam kondisi apapun rakyat akan berjuang semampunya agar keraton tidak jatuh kepada pihak Belanda. Mengingat fungsi keraton sangat penting, maka pihak tentara Belanda tidak menjadikan keraton sebagai target serangan, sehingga kondisi keraton di masa pertempuran dalam kondisi aman. Dalam siasat menguasai suatu daerah, Belanda mengutamakan uluran tangan dan persahabatan dengan para sultan yang menguasai wilayahnya, agar tak terjadi perbenturan yang akan mempersulit posisinya. Demikian politik divide et impera dijalankannya secara halus.
Adapun Cirebon pada awalnya bernama Caruban, di saat para Wali Songo melakukan syiar agama Islam disebut dengan nama “Negara Puser Bumi” karena terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Kemudian penduduk menamakannya “Negara Gede” yang kemudian oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama “Garage” atau “Grage”. Maka dalam kisah Palagan Cirebon dapat disebutkan dengan kata lain, ‘Pertempuran Wong Grage’. Sebagaimana pertempuran di Surabaya juga dikenal dengan nama “Pertempuran Arek-arek Suroboyo.”
Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan...
Ikatan Keluarga 400 (IKKEL 400),...
Pelatihan-pelatihan yang pernah didapat di...
Baskara Harimukti Sukarya,...