Kepala pendidikan karesidenan Cirebon yang bernama Pak Bakri Nitisumita turut pergi mengungsi pada saat terjadi Clash I (Agresi militer Belanda I). Cita-cita beliau agar para pelajar yang berada di garis pertahanan tetap memperoleh pendidikan yang layak. Maka tugas para pelajar pejuang turut membantu Pak Bakri Nitisumita membentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sekolah Perjuangan ini merupakan satu-satunya sekolah yang didirikan sekitar lereng Gunung Ciremai. Para pelajar pejuang mendapat tugas untuk mendatangkan guru dari kota Cirebon maupun kota Kuningan yang bersedia meneruskan perjuangan di pegunungan ataupun di pengungsian. Tetapi tidak semua guru yang didatangi bersedia ikut mengungsi dengan berbagai pertimbangan antara lain masalah keluarga yang tak bersedia ditinggal. Walau demikian ada di antaranya yang bersedia meninggalkan kota dan tergugah turut mengungsi sebagai tenaga pengajar di pengungsian. Semua itu niscaya karena adanya kesadaran atas nilai-nilai perjuangan bangsa demi mempertahankan perjuangan kemerdekaan.
Di antara guru-guru tersebut adalah Pak Talman, dua pahlawan pendidikan wanita dari Cirebon, yaitu Ibu Rochni Murdoko guru SMP Negeri dan Ibu Sri Rahayu guru SKP (Sekolah Kepandaian Putri) Negeri maka terbentuklah sekolah SMP Perjuangan di Ciwaru, satu-satunya SMP Gerilya Pemerintah Republik Indonesia di karesidenan Cirebon. Dari sekian banyak para pelajar dari kota Cirebon terdapat satu kelompok pelajar yang tak bersedia turut mengungsi dan bergerilya di pedalaman. Mereka adalah Ismail Raharjo, Moekmin Kamaloedin seorang pelajar yang bersekolah di Cirebon dan pernah ditarik oleh TNI untuk mengikuti Milisi ke Yogyakarta bersama Nanik Gandasoebrata dan seorang aktivis IPI yang bernama Kuswandi.
Mereka tetap tinggal di Cirebon untuk melakukan perjuangan bawah tanah berupa penerangan terhadap penduduk perkotaan tentang arti kemerdekaan. Sekaligus memberi spirit agar tabah menghadapi Belanda. Jangan sampai terhasut oleh Belanda karena Pemerintahan Indonesia sampai saat itu masih tetap berdiri.
Cara mereka bekerja dengan mengadakan komunikasi lewat jalur kegiatan ekskul atau ekstrakurikuler berupa olah raga dan kesenian. Gerakan gerilya kota di Cirebon merupakan mata rantai yang sangat penting dalam rangkaian sistem gerilya bawah tanah tersebut.
Pelajar pejuang ini merupakan sumber informasi dan penyedia bahan material berupa obat-obatan, senjata, peluru, uang dan pakaian. Para gerilya kota ini tugasnya sangat berat karena harus turut berjuang mempertahankan semangat teman-teman yang tak bisa ikut bergerilya di gunung karena berbagai alasan.
Mereka harus menetralkan pengaruh-pengaruh politik dan perang urat syaraf yang dilancarkan kolonialis Belanda, dalam usaha mereka mematahkan semangat juang para pengikut Kiblik (Republik). Walaupun kegiatan mereka terselubung dan masuk dalam bagian pelajaran ekskul. Secara diam-diam Belanda mengawasi para pelajar ini. Terbukti di antara mereka ada yang pernah tertangkap dan diperiksa untuk mempertanggung jawabkan kegiatannya. Di antaranya Nanik Gandasoebrata dan Moekmin Kamaloedin. Mereka berdua sempat dikirim ke markas Belanda untuk diperiksa dengan tekanan-tekanan jiwa yang dapat meruntuhkan keberanian seorang pria sekalipun. Resiko yang dihadapi para pelajar tetap ada walaupun tak sehebat mereka yang membawa senjata.
Dilihat dari segi pembelaan negara berupa mempertahankan RI, perjuangan sipil yang dilakukan oleh para pelajar baik di pedalaman dengan membantu jalannya roda pemerintahan darurat, memberikan penerangan dan penyebaran pamflet maupun yang melakukan gerakan bawah tanah di dalam kota tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan para pelajar yang bergerak langsung dalam bidang pertahanan militer. Para pelajar yang bergerak dalam bidang sipil dan militer tidak dapat dipilah-pilah karena kedua bidang tersebut sama pentingnya hingga tak dapat dilakukan sebuah pembedaan secara jelas.
Demikianlah para pejuang berusaha mempertahankan eksistensi pemerintahan daerah yang republiken. Dan para pejuang militer berusaha membatasi gerakan Belanda hanya sampai di wilayah perkotaan. Gabungan hasil yang diperoleh dari kedua bidang perjuangan ini dalam kasus tersebut sama dengan dapat mempertahankan Kemerdekaan R.I. Demikian perjuangan gerilya para pelajar yang tergabung dalam TP Yon 400 adalah saling berupaya mengimbangi tekanan kekuatan Agresi Militer Belanda I dan sekaligus mempertahankan kedaulatan politik bangsa serta Pemerintahan RI di wilayah karesidenan Cirebon. [Cuplikan buku PALAGAN CIREBON]
Buku Palagan Cirebon yang diluncurkan...
Ikatan Keluarga 400 (IKKEL 400),...
Baskara Harimukti Sukarya,...
Peluncuran buku Palagan Cirebon bagaikan...